Masa Depan Air dan World Water Forum

Sasliansyah

OPINI

KONAWE SELATAN – LINGKARSULTRA.COM – Nun di waktu yang lampau, negeri kita dikenal sebagai negeri gemah ripah lohjinawi, tata tentram kertaraharja, negeri yang diberkahi dengan keindahan, kelimpahan sumber daya, jauh dari keresahan dan diliputi kebahagiaan, sungai-sungai mengalir jauh, memberi kehidupan bagi banyak penduduk negeri.

Anak-anak bernyanyi, tanah airku-tumpah darahku, tanah yang subur-kaya makmur, sebuah negeri tempat merambat banyak harapan, pesona negeri yang memberikan kita keyakinan bahwa surga yang terlempar ke bumi itu adalah Indonesia.

Bahwa 93 persen air sungai Indonesia telah tercemar oleh mikroplastik dan limbah sampah lainnya.

Riset tersebut dilakukan pada 68 Sungai Strategis Nasional di seluruh wilayah Indonesia, menurut Ecoton, hal ini tentu sangat miris, sungai strategis nasional tersebut menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, dan kondisinya sangat mencemaskan kita semua.

Seturut dengan itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) beberapa waktu lalu merilis data bahwa sungai di Indonesia hanya ada sekitar 20 persen yang aman untuk dikonsumsi. Sementara 80 persennya, dinyatakan sudah tercemar. Kelindan fakta data ini memberikan peringatan untuk kita, ada kondisi emergensi dalam pengelolaan air di Indonesia.

Ancaman lainnya adalah privatisasi air, privatisasi air di indoensia menimbulkan kecemasan pada banyak pihak, undang-undang tentang sumberdaya air dibaca sebagai pesan akan kuatnya nuansa ekonomi yang dapat membatasi warga pada akses air yang layak. Hal ini terbaca dengan semakin banyaknya konflik pengelolaan sumber air antara warga dan pelaku usaha.

Menatap Masa Depan Pengelolaan Air Dari Kesadaran Teologis

Melampaui seluruh fakta yang menimbulkan persoalan tersebut, kita mungkin bisa kembali pada berbagai kearifan dan ajaran tentang bagaimana manusia idealnya bersikap pada ruang hidupnya, seperti apa bentuk penghargaan manusia dalam menjaga kelestarian sumberdaya air yang diselimuti keinginan untuk menciptakan peradaban yang terus menggerus sumberdaya.

Jauh di waktu dulu di abad ke 9, seorang pemikir islam Wasil Ibnu ‘Ata, seorang pakar teologi, linguistik dan balaghah, murid dari guru Mashur Hasan Al Basri. ‘Ata yang meyakini bahwa segala sumber kejadian adalah Tuhan, menegaskan peran manusia dalam teologi tentang bencana.

Baginya Tuhan Yang Maha Baik, memberikan manusia kebebasan untuk memilih perilaku yang baik atau buruk, alim atau zalim, berdasarkan itu Tuhan akan melimpahkan pahala atau menderakan hukuman berupa bencana.

Menurut ‘Ata kekuatan manusia menempati posisi penting dalam kaitannya dengan malapetaka, sesuatu yang tak diinginkan oleh manusia, manusia bisa menampilkan dua sisi dirinya, sebagai penyebab atau sebagai pencegah, maka force majeur yang selama ini diartikan sebagai kekuatan dahsyat di luar daya manusia, mestinya patut diwarnai secara lebih, bahwa kekuatan itu juga ada di dalam diri manusia, termasuk kekuatan akal budi untuk berbuat kebaikan dan menjaga semestanya, agar bencana dan malapetaka yang melintas di berbagai peradaban tidak terus terulang.

Mari Bersama Menjaga Air Sebagai Warisan Masa Depan Generasi Kita.

Oleh: Sasliansyah (Pegiat Literasi, dan Sekretaris GP Ansor Konsel)